Home  »  Public Section  »  Disease  »  Artikel Disfungsi Ereksi
Artikel Kesehatan
Disfungsi Ereksi

Penulis : dr. A.H. Wisda, SpU

Editor : Prof. dr. Ponco Birowo, SpU(K), PhD & Dr. dr. Syarif, SpU(K), MHPE

Diperkirakan 322 juta pria di seluruh dunia akan mengalami disfungsi ereksi (DE) atau impotensi pada tahun 2025, meningkat dua kali lipat dibanding tahun 1995. Meskipun DE bukan kondisi yang berbahaya, fenomena DE dapat menjadi sebuah “alarm” dari buruknya kondisi kesehatan tubuh yang lain seperti diabetes melitus atau penyakit jantung. Memperbaiki gaya hidup seperti berhenti merokok, menurunkan berat badan, modifikasi pola makan, aktivitas fisik, dan mengurangi stres psikologis semakin diakui sebagai dasar dalam upaya mencegah dan mengobati kondisi DE. Perlu dipahami pula, meskipun terdapat banyak terapi yang dapat dipilih untuk DE, penatalaksanaan DE tidak dapat instan, memerlukan waktu dan kesabaran.

Definisi, Penyebab, dan Faktor Risiko Penyakit

Disfungsi ereksi (DE) atau impotensi adalah ketidakmampuan pria untuk dapat mencapai dan mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan hubungan seksual yang memuaskan. Proses terjadinya ereksi pada penis melibatkan banyak faktor, termasuk pembuluh darah, sistem saraf, otot polos pada penis, hingga psikis. Penyebab gangguan ereksi dapat dikategorikan menjadi 3 jenis yakni; organik, psikogenik, dan campuran. Dalam kenyataannya, sulit sekali untuk membedakan penyebab dari disfungsi ereksi adalah murni karena masalah organik atau masalah psikogenik, sehingga tipe campuran adalah tipe yang paling sering didapatkan pada masyarakat. Beberapa faktor risiko yang menyebabkan disfungsi ereksi antara lain:

  1. Usia, semakin tua seseorang maka semakin rentan untuk terjadi disfungsi ereksi;
  2. Diabetes Melitus;
  3. Dislipidemia, yakni tingginya kadar lemak dalam darah;
  4. Hipertensi / tekanan darah tinggi;
  5. Penyakit kardiovaskular / jantung;
  6. IMT (indeks massa tubuh) yang tinggi atau obesitas (kegemukan);
  7. Sindrom Metabolik;
  8. Kurangnya aktivitas fisik;
  9. Merokok

Tanda dan Gejala

Disfungsi ereksi dapat mempengaruhi kesehatan psikologis pasien dan berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien dan pasangannya. Gejala DE awalnya akan cepat disadari oleh penderita atau pasangannya, terutama saat terjadi perubahan “yang tidak biasa” dari kondisi sebelumnya. Untuk DE tipe organik, biasanya pasien akan kehilangan fenomena ereksi di pagi hari. Sedangkan pasien dengan DE tipe psikogenik masih mengalami ereksi pagi hari.

Diagnosis

Untuk mendiagnosis disfungsi ereksi, dokter mungkin akan melakukan beberapa hal berikut:

  1. Anamnesis: Tanya jawab seputar aktivitas seksual, gejala yang dialami, obat obatan yang dikonsumsi dan riwayat kesehatan sebelumnya secara detail. Hal ini merupakan langkah awal dokter dalam mengevaluasi pasien dengan DE. Sangat dibutuhkan kerja sama dan keterbukaan dari pasien untuk mendapatkan hasil penilaian yang akurat dari dokter.
  2. Pemeriksaan fisik: dokter akan melakukan pemeriksaan yang berfokus pada pemeriksaan area genital (seperti penis dan testis), pemeriksaan saraf dan pemeriksaan pembuluh darah. Tentunya pemeriksaan ini akan dilakukan dalam ruangan tertutup dan menjaga privasi pasien.
  3. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:
    • Gula darah puasa atau HbA1c
    • Profil lipid (Trigliserida, LDL, HDL, dan kolesterol total)
    • Pemeriksaan vitamin D
    • Testosteron total (hormon seks pria) pagi hari (dalam keadaan puasa)

Beberapa pemeriksaan penunjang (tambahan) yang juga mungkin dibutuhkan oleh dokter antara lain:

  1. Nocturnal Penile Tumescence And Rigidity (NPTR) test (RigiScan™) 20 : Untuk memeriksa apakah seorang pria mengalami ereksi normal selama tidur.
    Gambar 1. Konstantinidis, Charalampos. (2012). Erectile Dysfunction in Paraplegic Males. 10.5772/30880.
  2. USG Duplex Penis : untuk mengevaluasi aliran darah pada penis pasien yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi.
    Gambar 2. Boback M. Berookhim, Doppler Duplex Ultrasonography of the Penis, The Journal of Sexual Medicine, Volume 13, Issue 4, 2016, Pages 726-731,ISSN 1743-6095, https://doi.org/10.1016/j.jsxm.2016.02.161. (https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1743609516003106)
  3. Arteriografi, terutama jika pasien terdapat riwayat kecelakaan / trauma / operasi pada daerah panggul.
  4. Pemeriksaan oleh dokter kejiwaan / psikiatri, terutama pada pasien dengan usia muda (< 40 tahun) yang mengalami disfungsi ereksi secara persisten atau terus menerus. Hal ini mungkin disebabkan oleh masalah kesehatan mental dan tekanan psikologis sering menjadi penyakit penyerta dari DE.

Terapi

Terapi awal yang bisa dilakukan untuk Disfungsi Ereksi antara lain:

  1. Perubahan gaya hidup: meningkatkan aktivitas fisik atau berolahraga secara teratur, menurunkan berat badan, memperbaiki parameter metabolik seperti HbA1c, profil lipid dan tekanan darah. Perubahan gaya hidup sangat penting, efektif, dan tahan lama meskipun akan membutuhkan waktu;
  2. Melakukan konseling bersama pasangan, terkait kemungkinan penyebab psikis yang terlibat;
  3. Mengatasi penyebab disfungsi ereksi, seperti: penyakit jantung, dislipidemia, hipertensi, dan diabetes.

Jika terapi awal tersebut tidak memberikan hasil yang memuaskan, bisa dipertimbangkan beberapa terapi lanjutan seperti di bawah ini:

  1. Obat oral golongan PDE5-inhibitor
    Obat ini berfungsi untuk merelaksasi otot polos pada pembuluh darah sehingga ereksi dapat dipertahankan, bukan untuk membuat seseorang menjadi ereksi spontan. Sehingga perlu dipahami bahwa aktivitas seksual alamiah seperti foreplay tetap dibutuhkan secara adekuat untuk memicu ereksi, walaupun pasien sudah mengonsumsi obat tersebut. Namun tidak diperbolehkan untuk pasien penyakit jantung yang mengkonsumsi obat golongan nitrat (seperti nitroglycerine, isosorbide mononitrate, and isosorbide dinitrate). Di Indonesia, terdapat 4 jenis obat disfungsi ereksi golongan penghambat PDE5, yakni: Sildenafil (Viagra), Tadalafil (Cialis), Vardenafil (Levitra), dan Avanafil.
  2. Alprostadil, adalah obat yang bekerja dengan membantu aliran darah menuju penis agar mencapai dan dapat mempertahankan ereksi. Ada 3 cara pemberian obat ini, yakni berupa:
    1. Krim yang dioleskan pada ujung urethra / lubang penis
    2. Cairan yang dimasukkan ke dalam urethra / lubang penis  
    3. Injeksi (suntikan) pada penis
  3. Terapi Hormon (testosteron)
    Terapi ini dipertimbangkan bagi pasien dengan ketidakseimbangan hormon, kadar testosteron rendah (di bawah normal) dan disertai libido yang rendah.
  4. Terapi Shockwave (ESWT): merupakan terapi gelombang kejut atau shock wave hanya untuk pasien disfungsi ereksi yang disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah (vaskulogenik).
    Gambar 3. Abu-Ghanem, Yasmin et al. “Penile Low-Intensity Shock Wave Therapy: A Promising Novel Modality for Erectile Dysfunction.” Korean Journal of Urology 55 (2014): 295 - 299.
  5. Vacuum erection devices (VED): menggunakan alat vakum untuk membesarkan batang penis lalu kemudian dilakukan “penjepitan” pada pangkal penis menggunakan semacam cincin untuk mempertahankan aliran darah pada penis. Biasanya terapi ini memiliki beberapa efek samping antara lain: nyeri, gangguan ejakulasi, kemerahan pada kulit, dan rasa baal pada penis. Terapi ini tidak diperbolehkan pada pasien dengan gangguan perdarahan atau yang mengonsumsi terapi antikoagulan.
    Gambar 4 https://www.cuh.nhs.uk/patient-information/vacuum-erection-assistance-devices-frequently-asked-questions/
  6. Implan penis: Merupakan prosedur operasi untuk memasang protesis atau implan pada penis sehingga memungkinkan penis untuk ereksi menggunakan bantuan alat tersebut. Ada 2 jenis protesis penis: semi-rigid dan inflatable (Gambar 5 dan 6). Ini merupakan langkah terakhir dalam upaya pengobatan DE.
    Gambar 5. Prostesis semi-rigid; https://www.bostonscientific.com/en-US/products/penile-prosthesis/tactra--malleable-penile-prosthesis.html
    Gambar 6. Prostesis inflatable; https://www.edtreatments.com/treatment-options/ams-700.html

Dari semua pilihan terapi diatas, tentunya pasien harus berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter spesialis urologi untuk pilihan pengobatan yang tepat, hasil yang maksimal, dan terhindar dari efek samping yang tidak diharapkan. Pasien juga perlu memahami bahwa tidak ada pengobatan DE yang instan dan waktu serta ekspektasi yang sesuai. Perlunya menjaga kondisi psikologis dan memperbaiki gaya hidup secara optimal menjadi hal yang sangat membantu dalam tatalaksana kondisi disfungsi ereksi ini.

Refrensi
  1. Ayta, I. A., McKinlay, J. B. & Krane, R. J. The likely worldwide increase in erectile dysfunction between 1995 and 2025 and some possible policy consequences. BJU Int. 84, 50–56 (1999).
  2. Dong, J.-Y., Zhang, Y.-H. & Qin, L.-Q. Erectile dysfunction and risk of cardiovascular disease: meta-analysis of prospective cohort studies. J. Am. Coll. Cardiol. 58, 1378–1385 (2011).
  3. Hehemann, M. C. & Kashanian, J. A. Can lifestyle modification affect men’s erectile function? Transl. Androl. Urol. 5, 187–194 (2016).
  4. NIH Consensus Conference. Impotence. NIH Consensus Development Panel on Impotence. JAMA 270, 83–90 (1993).
  5. Gratzke, C. et al. Anatomy, physiology, and pathophysiology of erectile dysfunction. J. Sex. Med. 7, 445–475 (2010).
  6. Salonia, A. et al. Is erectile dysfunction a reliable proxy of general male health status? The case for the International Index of Erectile Function-Erectile Function domain. J. Sex. Med. 9, 2708–2715 (2012).
  7. Gandaglia, G. et al. A systematic review of the association between erectile dysfunction and cardiovascular disease. Eur. Urol. 65, 968–978 (2014).
  8. El-Shahawy, O. et al. Association of E-Cigarettes With Erectile Dysfunction: The Population Assessment of Tobacco and Health Study. Am. J. Prev. Med. 62, 26–38 (2022).
  9. Besiroglu, H., Otunctemur, A. & Ozbek, E. The relationship between metabolic syndrome, its components, and erectile dysfunction: a systematic review and a meta-analysis of observational studies. J. Sex. Med. 12, 1309–1318 (2015).
  10. Johannes, C. B. et al. Incidence of erectile dysfunction in men 40 to 69 years old: longitudinal results from the Massachusetts male aging study. J. Urol. 163, 460–463 (2000).
  11. Feldman, H. A., Goldstein, I., Hatzichristou, D. G., Krane, R. J. & McKinlay, J. B. Impotence and its medical and psychosocial correlates: results of the Massachusetts Male Aging Study. J. Urol. 151, 54–61 (1994).
  12. Corona, G. et al. Assessment of the relational factor in male patients consulting for sexual dysfunction: the concept of couple sexual dysfunction. J. Androl. 27, 795–801 (2006).
  13. Fisher, W. A., Eardley, I., McCabe, M. & Sand, M. Erectile dysfunction (ED) is a shared sexual concern of couples I: couple conceptions of ED. J. Sex. Med. 6, 2746–2760 (2009).
  14. Hatzichristou, D. et al. Diagnosing Sexual Dysfunction in Men and Women: Sexual History Taking and the Role of Symptom Scales and Questionnaires. J. Sex. Med. 13, 1166–1182 (2016).
  15. Davis-Joseph, B., Tiefer, L. & Melman, A. Accuracy of the initial history and physical examination to establish the etiology of erectile dysfunction. Urology 45, 498–502 (1995).
  16. Ghanem, H. M., Salonia, A. & Martin-Morales, A. SOP: physical examination and laboratory testing for men with erectile dysfunction. J. Sex. Med. 10, 108–110 (2013).
  17. Isidori, A. M. et al. A critical analysis of the role of testosterone in erectile function: from pathophysiology to treatment-a systematic review. Eur. Urol. 65, 99–112 (2014).
  18. Corona, G., Isidori, A. M., Aversa, A., Burnett, A. L. & Maggi, M. Endocrinologic Control of Men’s Sexual Desire and Arousal/Erection. J. Sex. Med. 13, 317–337 (2016).
  19. Buvat, J. et al. Endocrine aspects of male sexual dysfunctions. J. Sex. Med. 7, 1627–1656 (2010).
  20. Qin, F. et al. Advantages and limitations of sleep-related erection and rigidity monitoring: a review. Int. J. Impot. Res. 30, 192–201 (2018).
  21. Glina, S. & Ghanem, H. SOP: corpus cavernosum assessment (cavernosography/cavernosometry). J. Sex. Med. 10, 111–114 (2013).
  22. Li, K. et al. The Relationships of Dehydroepiandrosterone Sulfate, Erectile Function and General Psychological Health. Sex. Med. 9, 100386 (2021).
  23. Capogrosso, P. et al. EAU Guidelines on Sexual and Reproductive Health 2023. uroweb.org (2023).
  24. Nguyen, H. M. T., Gabrielson, A. T. & Hellstrom, W. J. G. Erectile Dysfunction in Young Men-A Review of the Prevalence and Risk Factors. Sex. Med. Rev. 5, 508–520 (2017).
  25. Rooney, M. et al. Long-term, multicenter study of the safety and efficacy of topical alprostadil cream in male patients with erectile dysfunction. J. Sex. Med. 6, 520–534 (2009).
  26. Anaissie, J. & Hellstrom, W. J. Clinical use of alprostadil topical cream in patients with erectile dysfunction: a review. Res. reports Urol. 8, 123–131 (2016).
  27. Kattan, S., Collins, J. P. & Mohr, D. Double-blind, cross-over study comparing prostaglandin E1 and papaverine in patients with vasculogenic impotence. Urology 37, 516–518 (1991).
  28. Porst, H. et al. SOP conservative (medical and mechanical) treatment of erectile dysfunction. J. Sex. Med. 10, 130–171 (2013).
  29. Rizk, P. J., Kohn, T. P., Pastuszak, A. W. & Khera, M. Testosterone therapy improves erectile function and libido in hypogonadal men. Curr. Opin. Urol. 27, 511–515 (2017).
  30. Capogrosso, P. et al. Low-Intensity Shock Wave Therapy in Sexual Medicine-Clinical Recommendations from the European Society of Sexual Medicine (ESSM). J. Sex. Med. 16, 1490–1505 (2019).
  31. Levine, L. A. & Dimitriou, R. J. Vacuum constriction and external erection devices in erectile dysfunction. Urol. Clin. North Am. 28, 335–41, ix–x (2001).
  32. Yuan, J. et al. Vacuum therapy in erectile dysfunction--science and clinical evidence. Int. J. Impot. Res. 22, 211–219 (2010).
  33. Lewis, R. W. & Witherington, R. External vacuum therapy for erectile dysfunction: use and results. World J. Urol. 15, 78–82 (1997).